SENI KEKUATAN KOMUNIKASI dan PRESENTASI - KHAFA SKIN CARE

SENI KEKUATAN KOMUNIKASI dan PRESENTASI

2 tahun yang lalu

SENI KEKUATAN KOMUNIKASI dan PRESENTASI

Oleh: Shufi Zainal Mutaqin, CH, CHt, CNNLP

 

Komunikasi berasal dari kata Latin “communicatio” yang secara etimo-logis bersumber dari kata “communis” yang berarti sama, bersama, atau sama makna (Suyuti, S. Budiharsono, 2003: 6). Apabila ada dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya terjadi suatu percakapan, komunikasi akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dibicarakan. Namun apabila dalam percakapan tersebut sudah tidak ada kesamaan makna, bahkan terjadi salah paham, maka itulah yang dinamakan dengan istilah misscommunication alias miskomunikasi.

Bentuk dan cara komunikasi sesungguhnya terus berkembang sepanjang jaman, termasuk bahasa yang digunakan sebagai perantara. Bahasa yang maju dan rumit akan menyebabkan komunikasi kurang lancar dan kurang dipahami. Kesamaan bahasa yang digunakan dalam percakapan belum tentu menimbulkan kesamaan makna, artinya mengerti bahasanya namun belum tentu mengerti makna-nya. Apalagi jika bahasanya berbeda, maka bahasa isyarat mungkin lebih mengena.

Ilmu komunikasi merupakan ilmu terapan dari kelompok ilmu sosial. Menurut para ilmuwan, ilmu komunikasi bersifat indisipliner karena objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu yang lain, terutama yang masuk ilmu sosial. Dinamakan ilmu terapan karena digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dapat dirasakan kegunaannya secara langsung dan bersifat sosial. Ilmu-ilmu terapan berhubungan dengan perubahan atau pengawasan dari situasi-situasi praktis, ditinjau dari sudut kebutuhan manusia. Berbeda dengan ilmu murni yang kegunaannya tidak dapat dirasakan langsung kegunaannya bagi masyarakat.

Bangsa kita yang beragam sukunya sangat beragam pula bahasa daerah yang berkembang. Ada yang kemudian diangkat menjadi Bahasa Indonesia yang dibakukan karena tidak ada padanan dalam Bahasa Indonesia, tetapi ada pula yang menjadi dialek nasional, tetapi tidak dibakukan sebagai Bahasa Indonesia yang baku. Sebagai contoh “tepo saliro”, “empan papan”, “tut wuri handayani”, “mumpuni” merupakan Bahasa Jawa yang tidak dapat di-Indonesia- kan. Semua ini kekayaan bangsa kita yang harus dijaga kelestariannya.

Bahasa sebagai bagian integral dalam ilmu komunikasi sangat penting dikuasai oleh orang- orang yang dalam kerjanya membutuhkan penerapan bahasa yang baik dan tepat, seperti jurnalis, presenter, wartawan, pendidik/dosen, instruktur, sampai pada profesi atase, diplomat, dan juru bicara pejabat tinggi. Kesalahan dalam menyusun kata menjadi rangkaian kalimat dalam komunikasi dapat memberikan pemaknaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, kita sebagai pedidik sangat penting untuk memiliki bekal tentang komunikasi publik yang baik, karena peserta didik dan orang-orang yang kita latih adalah publik yang mendengarkan penjelasan materi dari kita. Dengan ilmu komunikasi publik yang baik, kita akan lebih berhati-hati dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya ketika akan berhadapan dengan orang banyak.

 

KIAT SUKSES BERBICARA DI DEPAN PUBLIK ( PUBLIC SPEAKING )

Ketika kita berbicara di depan banyak orang, maka setiap kata dan setiap kalimat harus tersusun dengan baik dengan alur berpikir yang benar dan sistematis. Pikiran yang jermih, mood (suasana hati) yang baik, dan kepiawaian merangkai kalimat merupakan modal utama seseorang dapat berbicara lancar dan berhasil di depan audien. Selain itu juga diperlukan kecerdasan berpikir dan kecekatan menalar agar dapat memberikan argumen-argumen jitu dan meyakinkan kepada audien. Pada kenyataannya, sebagian pendidik atau instruktur tidak dibekali cara berbicara yang baik dan menarik.

Seperti diketahui, cikal bakal ilmu komunikasi adalah retorika, yaitu seni bicara yang menekankan pada kemampuan berpidato, dimana tujuan utamanya khalayak bisa tertarik perhatiannya dan terbujuk (Onong Uchjana Effendy, 2007: 53). Ada beberapa orang yang mengartikan retorika sebagai public speaking atau pidato di depan umum.

Berkaitan dengan hal itu, maka jika kita ingin menjadi pembicara yang handal dan sukses selain bakat, juga dapat dikembangkan dengan berlatih terus-menerus, karena “jam terbang” yang tinggi sangat mempengaruhi bagaimana seseorang hebat di depan umum.

Sebelum kita berbicara di depan umum, maka syarat utama yang harus dimiliki adalah menciptakan citra diri yang positif pada diri kita. Ada enam karakteristik citra diri positif yang harus dikembangkan (James K. Van Fleet, 2001 : 14 – 15), yaitu :

1.    Memiliki rasa percaya diri yang kuat

Rasa percaya diri perlu selalu dipupuk dan dikembangkan dalam diri kita agar ketika tampil di hadapan orang banyak dapat tampil prima dan baik. Ketika akan tampil, buatlah diri Anda percaya diri pada kemampuan dan persiapan yang telah dilakukan sebelumnya. Katakan dalam diri Anda “aku lebih tahu dan lebih dahulu tahu daripada orang-orang yang ada di hadapanku” dan katakan “aku pasti dapat menjelas-kan apapun yang akan ditanyakan publik, karena aku sudah belajar”. Dengan cara demikian percaya diri Anda akan terbentuk dan tidak akan “demam panggung”. Namun demikian over percaya diri tidak boleh ada dalam diri kita karena berakibat riak dan sombong dan selalu “under estimate” pada orang lain. Hal ini berbahaya, seperti menggali lubang sendiri, karena tidak selamanya kita “tahu segalanya”.

 

2.    Berorientasi pada ambisi dan sasaran

Ada pendapat yang mengatakan orang yang berambisi berbahaya, tetapi sebenarnya tidak demikian, tergantung ambisi yang seperti apa yang diciptakan dalam pikiran dan hati kita. Orang tanpa ambisi tidak akan pernah maju, karena selalu menyerah pada keadaan dan “nrimo”. Jadi adanya ambisi dapat memotivasi seseorang untuk maju dan meraih sasaran yang akan dituju (cita-cita). Dengan kata lain, jangan pernah menjadi golongan “minimalis” yang hanya dapat berkata “bisaku ya hanya ini”, tetapi jangan pula jadi kelompok “idealis” yang semuanya serba perfect. Sebaik-baiknya orang adalah yang di tengah-tengah, maju sesuai dengan kemampuan

 

disertai ikhtiar/usaha, semangat untuk mencapai, dan diiringi doa. Nah … dalam hubungannya dengan kemampuan berbicara di depan umum, kita harus memiliki ambisi untuk dapat ‘menghipnotis” audience agar terbawa dengan alur pikir dan ide kita, sehingga mereka bersemangat untuk mendengarkan dan menyimak.

 

3.    Terorganisir dengan baik dan efisien

Semua aktivitas akan berhasil baik jika semuanya direncanakan dengan baik pula. Menurut Sommerset Maugham (The Summing UP, 1957) seseorang yang pikirannya semrawut akan melakukan sesuatu dengan semrawut pula, artinya sese-orang yang tidak menuangkan pola pikirnya secara terencana dan terorganisir dengan baik, maka aktivitas yang dilakukan tidak akan berhasil dengan baik dan efisien. Ketika kita akan berbicara di depan umum perlu diorganisir secara teratur dan baik, mulai dari persiapan segala sesuatu yang berkaitan dengan informasi yang akan disampaikan hingga pada hal-hal yang menunjang kesuksesan berbicara di depan umum tersebut. Dengan persiapan yang matang menyebabkan hati dan pikiran kita tenang dan itu akan membawa ketenangan pula dalam berbicara.

 

4.    Bersikap “mampu”

Sekali kita melangkah menjadi seorang pendidik atau instruktur yang harus berbicara di depan umum, maka pantang untuk mundur lagi. Tantangan apapun harus kita jalani, coba, dengan usaha keras, agar kita dapat mengatakan dalam diri kita sendiri bahwa kita memang “mampu”. Sikap “mampu” yang tertanam dalam diri sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan seseorang berbicara di depan umum. “Demam panggung”, minder, dan rasa takut akan tertepis dengan sendirinya ketika kita merasa mampu mengatasi segalanya dalam suatu momen retorika.

 

5.    Memiliki kepribadian yang menyenangkan

Anda harus percaya bahwa dalam berbicara di depan umum, kepribadian yang menyenangkan sangat memegang peran utama kesuksesan seseorang di depan umum. Seseorang yang pemalu, suka menyendiri, penakut, tidak punya selera humor, sulit untuk dapat mempengaruhi seseorang dalam suatu forum retorika. Pengalaman menunjukkan seorang pembicara yang jenius akan kalah sukses dalam mempengaruhi audience dibandingkan pembicara yang tidak terlalu pandai tetapi mampu memberi selingan “humor ringan” dalam berbicaranya. Dengan kata lain, pembicara yang sukses adalah mereka yang memiliki jiwa entertain (menghibur), tidak sekedar transfer knowledge semata.

 

6.    Mampu mengendalikan diri

Seringkali kita melihat beberapa pembicara secara emosional menanggapi pertanyaan yang menurutnya seperti menguji atau menjatuhkannya. Namun sikap emosional seperti itu sebenarnya tidak perlu bahkan harus dibuang jauh-jauh, karena akan membawa citra negatif bagi

 

diri kita di kesempatan lain. Sebagai pembicara kita memang wajib untuk mendengarkan dan menanggapi secara baik pertanyaan demi pertanyaan dari audience, apapun isi pertanyaannya. Satu hal yang harus diingat, ketika ada pertanyaan yang memang kita tidak dapat menjawabnya, akan lebih baik kita katakan secara jujur, bukan malah mengalihkan pertanyaan dengan jawaban yang berbelit-belit dan tidak jelas arahnya.

 

KIAT SUKSES MENJADI PRESENTER

Presenter (pembicara) tidak jauh berbeda dengan presenter yang tampil di media kaca (televisi), dalam artian penampilan juga menentukan. Penampilan di sini bukan berarti kecantikan/ketampanan, tetapi lebih kita tampil luwes, “empan papan” (sesuai tempat) dan memilih kata-kata yang tepat kemudian merangkainya dalam bahasa yang mudah ditangkap dan dipahami audience. Berbicara di depan orang-orang yang tingkat pendidikannya sederajat, lebih rendah, atau masyarakat awam tentunya membutuhkan bahasa dan pendekatan yang berbeda, inilah yang dimaksud “empan papan”. Demikian pula cara berpakaianpun kelihatannya sepele, tetapi ikut berperan dalam kesuksesan menjadi presenter, sebab audience juga akan menghargai kita dari cara berpakaian kita.

Selain itu, pemaparan ide-ide dan seluruh buah pikiran kita, sehingga dapat meyakinkan audience dan membawa mereka pada kesimpulan yang sama dengan kita. Untuk keperluan ini kita sebaiknya tidak terlihat mengguruii atau sebaliknya terlihat seolah-olah tidak yakin dengan apa yang kita sampaikan, tetapi dikemas de-ngan bahasa persuasif yang halus. Kepiawaian seperti ini tidak dapat terbentuk secara instan, tetapi memerlukan proses latihan terus menerus.

Hal yang tidak kalah menentukan adalah media yang kita gunakan ketika presentasi, dapat berupa transparansi, alat peraga, alat demonstrasi, powerpoint, audio-visual, dan lain-lain. Semua harus dipersiapkan dengan baik agar tidak terkesan asal-asalan. Ketika kita akan menggunakan powerpoint yang sekarang sedang trend, juga tidak asal memindahkan seluruh informasi yang akan kita sampaikan, tetapi perlu dibuat tampilan yang menarik, ringkas, dan komunikatif.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan diri untuk membaca lebih banyak pengetahuan yang berkaitan dengan informasi yang akan kita sampaikan sebagai antisipasi terhadap pertanyaan di luar yang kita sampaikan, tetapi memang masih ada kaitannya. Hal ini seringkali dilupakan, sehingga ketika mendapat perta-nyaan pembicara kebingungan dalam mencari jawaban. Kita memang tidak dapat menyalahkan audience yang bertanya, karena memang mereka ingin tahu lebih jauh.

Kiat terakhir adalah memperbanyak joke-joke (humor) yang ada kaitannya dengan materi yang kita sampaikan. Hal ini sangat penting, apalagi kalau kita sudah sering menjadi pembicara, harus selalu mengasah keterampilan memainkan kata dan menyelipkan humor di tengah-tengah presentasi. Pada awal-awal kita presentasi, mungkin belum cukup pandai dalam menyelipkan humor, sehingga perlu direncanakan terlebih dahulu sebelum presentasi. Namun kalau kita sudah

 

terbiasa, maka selingan humor itu akan muncul dengan sendirinya tanpa kita rencanakan. Selingan humor terbukti mujarab sebagai magnet dalam suatu momen retorika. Bahkan kalau kita ingin menjadi pembicara handal, maka kepiawaian kita menyelipkan humor menjadi daya tarik tersendiri yang dapat membuat kita menjadi pembicara yang laris.

Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang menguraikan dan menjelas-kan suatu materi tanpa ada selingan, maka perhatian dan konsentrasi pendengar akan menurun secara draktis setelah 20 menit. Keadaan ini semakin parah jika pembicara tidak menyadari, sehingga menjadi sesuatu yang membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Keadaan seperti ini hanya dapat diatasi jika pembicara menyadari lalu mengubah keadaan menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan aktivi-tas atau humor. Tindakan ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan kembali perhatian dan konsentrasi pendengar yang relatif besar.

Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif. Otak sangat menyukai hal- hal yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh warna, lucu, multi-sensorik, gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi, simbol, melibatkan irama / musik, dan nomor/urutan. Berdasarkan hal ini, maka kita sebagai pembicara harus mampu mendesain isi presentasi kita sedemikian rupa sehingga otak orang-orang yang mendengarkan kita menyukainya.

Kiat berikutnya adalah bagaimana kita dapat merangkul audience agar mereka dapat merasakan ikut terlibat dalam pembicaraan. Sebagai contoh, sekali-kali mereka diajak berbicara, menanggapi secara singkat sesuatu yang kita tanyakan, menunjuk salah satu untuk tampil, atau berjalan diantara mereka.

Kiat terakhir adalah bersifat teknik, yaitu bagaimana menghargai alokasi waktu yang diberikan pada kita. Pembicara yang baik adalah yang mampu memanfaatkan waktu yang disediakan dengan sebaik-baiknya, tanpa mengurangi maupun menam-bah. Jika hanya berkurang/bertambah sekitar 5 menit hal yang biasa, tetapi lebih dari itu akan membuat semua yang terlibat dalam momen retorika itu merasa tidak menikmati lagi. Agar kita bisa tepat waktu, maka perlu dicoba di rumah atau memper-kirakan (bagi yang sudah biasa) sesuai dengan waktu yang ditetapkan.